ANALISIS PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN
WAHID
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sangat luar biasa perhelatan politik
di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Sejak lahirnya
Republik Indonesia tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan
sudah mencapai 66 tahun. Jika dirata-ratakan periodisasi pemerintahan selama 5
tahun, maka secara logika akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan
minimal 13 pemimpin bangsa. Namun realitas yang terjadi sungguh sangat ironis,
selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh dua orang
orang presiden. Yaitu Soekarno yang dijuluki sebagai the founding father
memimpin selama 22 tahun, dan soeharto yang di juluki sebagai bapak pembanguan
selama 32 tahun. Sisanya periodisasi kepemimpinan selama 12 tahun melahirkan tahun
mleahirkan empat orang persiden, yaitu B,J Habibie (1998 – 1999), Abdurahman
Wahid (1999 – 2001), Megawati Soekarno Putri (2001 – 2004) dan Susilo Bambang
Yudhoyono (2004 – sekarang).
Pasca reformasi, seperti layaknya
masa transisi, melahirkan beragam gejolak serta kerja kebangsaan san
pemikiran-pemikiran disertai dengan beragam perubahan tata cara bernegara. Baik
itu pemikiran ke depan maupun pemikiran ulang terhadap nilai-nilai kebangsaan,
yang tidak bisa bertumbuh pada era Soeharto serta masa proklamasi. Sebutlah
tafsir sejarah peristiwa September 1965 hingga upaya kembali meletakan agama
sebagai dasar negara, yang sesungguhnya sudah selesai dengan lahirnya Pancasila
dan UUD 1945. Seluruh pemikiran yang tidak bisa tumbuh pada era Soeharto, maupun
yang mati oleh pemikiran yang pluralis Pancasila, berupaya ditumbuhkan kembali
dalam era yang penuh transisi serta dibuka lewat pemilu langsung dan suara
terbanyak. Era yang memungkinkan berbagai dimensi pemikiran masuk lewat partai,
parlemen hingga yudikatif, eksekutif serta berbagai bentuk proses berbangsa
lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian diatas maka penulis menarik sebuah
permsalahan yaitu bagaimana pemerintahan Indonesia dibawah pimpinan Abdurahman Wahid?
BAB III
PEMBAHAHASAN
I.
Sejarah
Singkat Gus Dur
Kyai
Haji Abdurahman Wahid atau yang lebih populer dikenal dengan panggilan Gus Dur
merupakan presiden Republik Indonesia ke enam (setelah Sukarno, Sjafrudin Prawiranegara, Assaat, Soeharto,
dan Habibie) selama kurang lebih 2 tahun (1999 – 2001). Gus Dur merupakan putra pertama dari
Kyai Haji Wahid Hasyim yang merupakan salah satu tokoh Gerakan Nasionalis dan
pernah menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri
pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Kakek dari ayahnya adalah K.H.
Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul
Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah
pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Gus
Dur merupakan
presiden Indonesia mempunyai karakter berbeda dari para pemimpin bangsa ini
sebelumnya. Karena selain pesdien yang di juluki sebagai presiden yang suka beliau
merupakan sosok pemimpin bangsa yang lucu, controversial dan unik. Kelucuan dan keunikan Gus Dur sudah nampak sejak
lahir, beliau mempunyai dua versi tanggal lahir yang berbeda. Versi pertama, beliau lahir pada hari
ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur.
Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus 1940. Versi kedua, ada pendapat yang menyebutkan
beliau lahir pada tanggal 7 September
1940. Ini bersumber dari kalender yang digunakan untuk menandai kelahirannya
adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada bulan Sya’ban, yang sama
dengan tanggal 7 September 1940. Tidak hanya itu, terdapat kelucuan yang lain,
beliau sebenarnya beliau lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil, namun karena
tidak cukup dikenal, kemudian nama belakangnya diganti dengan Wahid. Dan
kemudian dikenal dengan panggilan Gus Dur. Gus Dur meninggal
dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu, 30 Desember 2009,
sekitar pukul 18.45 WIB pada usia 69 tahun.
Gus Dur adalah penderita penyakit
obesitas. Bukan obesitas dalam arti sesungguhnya, melainkan obesitas akibat
terlalu banyak ilmu dan buku yang dilahapnya. Kebiasaan Gus Dur dalam memabaca
buku sudah di mulai sejak kecil dengan memanfaatkan perpustakaan pribadi
ayahnya. Alhasil Gus Dur berhasil memenangkan lomba karya tulis se-wilayah Jakarta. Wahid
juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk
memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya
meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April
1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Tahun 1953, ia melanjutkan
petualangan mencari ilmunya ke Sekeloh Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di
Gowongan, Yogyakarta, sambil mondok di pesantren.
Saking
tingginya minat Gus Dur dalam membaca buku, maka tidak tanggung-tanggung buku bahasa asingpun
beliau lahap. Diantaranya yaitu novel Captain’s
Daughter karangan I. Turgenev, For
Whom The Bell Voice tulisan Ernest Hemingway, selain novel buku
politik-sosialis dilahap habis olehnya. Seperti, Romantisme Revolusioner buah pena Lenin Vladimir Ilych, Das Kapital karya Karl Marx, senarai
pemikiran Lenin bertudung What is to be
Done?, serta beberapa jilid buku The
Story of Civilization karya Will Durant. Beberapa kamus bahasa asing tebal
juga selalu setia mengawalnya. Tidak hanya itu Gus Dur juga melahap buku-buku
tentang pemikiran besar dunia. Misalnya Gramsci, William Faulkner, Ortega Y.
Gasset, John Steinbeck, Johan Huizinga, Andre Malraux, William Bochner, Mao Ze
Dong, Plato, Aristotales, Socrates, dan lain-lain. Selain penggila buku, beliau
juga penggila film Eropa dan Amerika dan juga hobi menonton pertandingan sepak
bola.
Tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari
Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November
1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus
mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak
mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa
mengambil kelas remedial.
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di
Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan
komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia
di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas
dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada
Wahid, yang ditugaskan menulis laporan.
Wahid mengalami kegagalan di Mesir.
Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat
mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang
belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya.
Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga
meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis
majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya
di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk
meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya
di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Dengan intelektualitas yang tinggi, Gus
Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme,
perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :
- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000);
- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000);
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000);
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000);
- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000);
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000);
- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002);
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003);
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003);
- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003);
- Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991);
- Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993);
- Bapak Tionghoa Indonesia (2004);
- Pejuang Kebebasan Pers.
II.
Masa
Pemerintahan Gus Dur
Awal
masa
pemerintahannya, Gus Dur Membentuk Kabinet pertama yang dengan nama Kabinet Persatuan Nasional
yaitu adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik:
PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI
juga ada dalam kabinet tersebut.
Pada
masa pemerintahan Gus Dur banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang disambut
baik oleh seluruh rakyat Indonesia, bahkan ada pula kebijakan pemerintah yang
controversial. Pemerintahan Gus Dur juga membuka kran kebebasan dan
mengedepankan aspek primordial yang bersumber dari banyak sisiseperti agama,
etnisitas, ideology, dan lain-lain.
Salah
satu contoh kebijakan pemerintah yang mengandung kontroversi yaitu saja Gus Dur sering berwisata ke
negara-negara lain di luar rute utama perdagangan Indonesia. (Tidak
kurang dari negara-negara ASEAN (mulai dari Thailand hingga Brunei Darussalam),
Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, Yordania, Republik Rakyat Cina,
Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, Italia,
India, Korea Selatan, Timor Leste, Afrika
Selatan, Iran, Pakistan, dan Mesir, dikunjungi Gus Dur sepanjang masa
pemerintahannya yang singkat. Sebenarnya, tujuan Gus Dur adalah memperbaiki
citra Indonesia di mata negara-negara tersebut sekaligus membuka peluang
kerjasama (terutama dalam perdagangan). Akan tetapi, tidak semua orang menyukai
pola politik luar negeri seperti ini.
Gus Dur sering dianggap hanya membuang uang negara.
Tidak hanya itu, Gus Dur juga pernah
mengatakan bahwa anggota DPR seperti anak taman kanak-kanak. Tentu saja bagi
orang yang gila hormat, ucapan Gus Dur sangat menyayat hati. Padahal kelak,
kelakuan anggota DPR yang kekanak-kanakan, benar-benar terbukti.
Kemudian
kebijakan pemerintahan Gus Dur melakukan banyak terobosan untuk
mengangkat kaum minoritas. Yaitu dengan membolehkan perayaan imlek
yang selama masa Soeharto dilarang. Gus Dur juga sempat meminta agar TAP MPRS
No. XXIX/MPR/1966 tentang pelarangan Marxisme-Leninisme, dicabut. Hal ini cukup
kontroversial mengingat bagaimana pun sepanjang era Soeharto,
PKI (yang berkaitan dengan Marxisme-Leninisme) sudah dihitamkan. Orang awam juga berpendapat bahwa
PKI termasuk dalam golongan orang tidak beragama (walaupun ada Komunis-Islam),
yang sulit diterima di Indonesia yang menjunjung “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dengan membuka keadilan untuk kaum minoritas, sebenarnya Gus Dur menunjukkan
adanya persamaan derajat antarsesama warga negara Indonesia.
Barangkali,
hal yang paling kontroversial
dalam pemerintahan Gus Dur adalah “perdamaian”-nya dengan Israel. Seperti yang
kita ketahui, umat Islam Indonesia sangat antipati terhadap negara penjajah
Palestina tersebut atas dasar solidaritas sesama muslim.
Akan tetapi, bukannya bersikap memusuhi Israel, Gus Dur justru berusaha membuka
hubungan dengan negara tersebut.
Tentu
saja rakyat Indonesia marah. Bahkan, duta
besar Palestina untuk Indonesia saat itu, Ribbhi Awad, sangat kecewa. Gus Dur
hanya mengatakan, sangat aneh
jika Indonesia tidak bisa “bekerjasama” dengan Israel, karena negara tersebut
berbasis pada agama sedangkan Indonesia bisa bekerjasama dengan negara-negara
ateis seperti RRC dan Rusia.
Gus
Dur yang sangat menjunjung tinggi kebebasan umat beragama sebenarnya menekankan
bahwa Islam tidak boleh melihat segala sesuatu yang berbau Barat adalah kesalahan. Toh bekerjasama
dengan Israel bukan berarti membenci atau melucuti dukungan Palestina. Bahkan,
dengankerjasama dengan Israel, bisa
jadi sikap Israel akan melunak pada Palestina mengingat Gus Dur dikenal sebagai
jago diplomasi.
Semua orang tahu di masa
pemerintahan Gus Dur, suasana demokratis mulai tampak wujudnya. Setelah
sebelumnya tenggelam dalam bayang-bayang rezim Soeharto. Walaupun pada
pemerintahan sebelumnya (Presiden Habibie), keran demokrasi sudah mulai dibuka.
Tapi, pada masa Gus Dur begitu terasa.
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan
militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus
Wirahadikusumah, yang
diangkatnya menjadi Panglima Kostrad
pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan
Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati,
anggota TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti
tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur
kembali harus menurut pada tekanan.
Hubungan
Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku
dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang
Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi
Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai
oleh senjata TNI. Sehingga, Gus Dur menyatakan darurat
militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk.
Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan
juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir
Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat.
Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di
bawah bendera Indonesia. Hal ini membuat Ia dikritik oleh Megawati
dan Akbar.
Muncul
pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada
bulan Mei, Badan Urusan Logistik
(BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang
pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur
menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate.
Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya
sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di
Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini
disebut skandal Bruneigate.
Pada
akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman
Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan
kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha
mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan
otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu
pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 anggota DPR
menandatangani petisi yang meminta pemakzulan
Gus Dur.
Gus
Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra
dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.
Menteri Kehutanan Nurmahmudi
Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan
Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat
mengendalikan Partai Keadilan,
yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam
menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam
inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan
meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus
Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan
Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono
untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur
memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle
kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan
bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000
tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara
sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret
yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan
rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai
Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa
MPR. Namun dekret tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR
secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Meskipun hanya memimpin kurang dari
2 tahun (tepatnya 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001), Gus Dur memberikan
pesona baru dalam dunia politik Indonesia. Kebijakan-kebijakannya yang kadang
terlalu progresif sering membuat orang sibuk menebak, apa yang sedang
dipikirkan Gus Dur selama waktu-waktu tersebut. Pada pemerintahan Gus Dur juga
dibuka kran kebebasan dan menjunjungi tinggi toleransi antar umat beragama. Beliau
juga telah membawa Indonesia ke dalam taraf demokratisasi yang lebih baik lagi.
Daftar Pustaka
Wiguna,
Guntur. 2010, Koleksi Humor Gus Dur. Jakarta : Narasi.
Wahid, Anita.
2010, Gus Dur Bertahta di Sanubari. Jakarta : The Wahid Institute.
Terimakasih sangat membantu analisis pelajaran kuliah saya kunjungi balik silahkan kritik yang ada di blog saya http://blogoundrium.blogspot.co.id
BalasHapus