Senin, 28 November 2011

Pancasila Sebagai Identitas Nasional Serta Aktualisasi Pengamalan Pancasila Dibidang Politik Dalam Era Globalisasi

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Globalisasi memang sebuah keniscayaan waktu yang mau tidak mau dihadapi oleh negara manapun di dunia. Ia mampu memberikan paksaan kepada tiap negara untuk membuka diri terhadap pasar bebas. Dalam globalisasi, negara-negara berkembang mau tidak mau, suka tidak suka, harus berinteraksi dengan negara-negara maju. Melalui interaksi inilah negara maju pada akhirnya melakukan hegemoni dan dominasi terhadap negara-negara berkembang dalam relasi ekonomi politik internasional.
Globalisasi yang hampir menenggelamkan setiap bangsa tentunya memberikan tantangan yang mau tidak mau harus bangsa ini taklukkan. Era keterbukaan sudah dan mulai mengakar kuat, identitas nasional adalah barang mutlak yang harus dipegang agar tidak ikut arus sama dan seragam yang melenyapkan warna lokal serta tradisional bersamanya. Identitas nasional, dalam hal ini Pancasila mempunyai tugas menjadi ciri khas, pembeda bangsa kita dengan bangsa lain selain setumpuk tugas-tugas mendasar lainnya. Pancasila bukanlah sesuatu yang beku dan statis, Pancasila cenderung terbuka, dinamis selaras dengan keinginan maju masyarakat penganutnya. Implikasinya ada pada identitas nasional kita yang terkesan terbuka, serta terus berkembang untuk diperbaharui maknanya agar relevan dan fungsional terhadap keadaan sekarang
Ketika globalisasi tidak disikapi dengan cepat dan tepat maka hal ia akan mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Globalisasi adalah tantangan bangsa ini yang bermula dari luar, sedangkan pluralisme sebagai tantangan dari dalam yang jika tidak disikapi secara bijak tentu berpotensi menjadi masalah yang bisa meledak suatu saat nanti. Berhasil atau tidaknya kita menjawab tantangan keterbukaan zaman itu tergantung dari bagaimana kita memaknai dan menempatkan Pancasila dalam berpikir dan bertindak.
Beberapa ciri penting (sekaligus sebagai implikasi) globalisasi adalah: Pertama, hilangnya batas antarnegara (borderless world), maraknya terobosan (breakthough) teknologi canggih, telekomunikasi dan transportasi, sangat memudahkan penduduk bumi dalam beraktivitas. Dengan berdiam di rumah atau di ruang kantor, seseorang bisa bebas selancar ke seluruh isi dunia, sampai-sampai rencana pembunuhan pun bisa diketahui sebelumnya.
Secara alamiah, tanah air kita memiliki tiga karakteristik utama, yaitu secara geografis sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dan ratusan ribu kilometer garis pantai serta terletak pada “posisi silang” antara dua benua dan dua samudra, memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Serta secara demografis memiliki keanekaragaman yang sangat luas dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan seperti ras/etnis,agama, bahasa, kultur, sosial, ekonomi dan lain-lain. Faktor letak strategis dan kekayaan sumber daya alam tadi akan semakin penting manakala aspek geoekonomi, geopolitik dan geostrategi menjadi bahan tinjauan. 90% energi yang dibutuhkan Jepang dikapakan melalu perairan Indonesa. 60% ekspor Austalia dikirim ke Asia melalui perairan Indonesia. Amerika Serikat minta innocentpassage melinta dari timur ke barat di dalam wilayah perairan territorial indonesia, bagi pemelihara hegemoni dan aksesnya ke sumber minyak di TimurTengah, tidak heran jika banyak negara berkepentingan terhadap kestabilan atau instabilitas indonesia yang kaya akan minyak, mineral, hutan dan aneka ragam kekayaan laut. Oleh karenaya salah satu konsekuensi dari ciri letak strategis dan kekayaan SDA tadi adalah masuknya berbagai pekentingan asing ke dalam negeri kita.
Pergesekan antar berbagai kepentingan asing tersebut selain aneka kepentingan internal / nasional dapat dilahirkan berbagai macam konflik di Indonesia. Sedangkan secara demografis dengan 1072 etnik yang menghuni kepulauan Indonesia serta ribuan macam adat-budaya, ratusan macam bahasa serta sekian banyak agama yang menjadi ciri pluriformitas bangsa,sudah barang tentu selain menyimpan berbagai macam kekayaan budaya, juga sekaligus mengandung berbagai potensi dan sumber konflik.
Tanpa disadari sebenarnya saat ini bangsa Indonesia sedang terlibat dalam suatu peperangan dalam kondisi terdesak hampir terkalahkan. Kita dapat saksikan dengan kasat mata terpinggirkannya nilai-nilai luhur budaya bangsa seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, musyawarah mufakat dan digantikan oleh individualisme, kebebasan tanpa batas, sistem one man one vote dan sebagainya.

B.       Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan dibahas diantaranya :
1.      Apa Hakikat dari Globalisasi?
2.      Bagaimana Hakikat dan Dimensi Identitas Nasional Dalam Era Globalisasi?
3.      Bagaimana Aktualisasi Pengalaman Pancasila Dalam Era Globalisasi Di Bidang Politik?

C.      Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan ini diharapkan agar pembaca dapat mengatahui Hakikat dari globalisasi, hakikat dan dimensi Identitas Nasional, serta dapat memaknai dan mengaktualisasikan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang 1945 dalam bidang Politik secara benar. penulisan ini diharapkan dapat mencerahkan kembali ideologi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga Negara ini (Indonesia) dapat tetap hidup dengan jati dirinya untuk mencapai cita-citanya

D.      Sistematika Penulisan
Dalam penyelesaian penyusunan makalah ini penulis menggunakan studi kepustakaan, yaitu penulis mencari buku-buku yang berhubungan dengan Pendidikan Pancasila serta sumber-sumber lain yang relevan.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakikat Globalisasi
Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi modern.[1]
Menurut Scholte (2000) globalisasi dibagi kedalam lima kategori besar, yaitu :
1.      Globalisasi adalah internasional, global sebagai kata sifat untuk menggambarkan hubungan lintas batas di antar negara-negara.
2.      Globalisasi sebagai Liberalisasi. Globalisasi dimaksudkan sebagai process of removing goverment-impposed restrictions on movements between countries in order to create an ‘open’,’borderless’eorld economy.
3.      Globalisasi adalah universalisasi. Global dalam penggunaannya berarti worldwide artinya globalisasi adalah proses menyebarnya bermacam-macam barang dan ilmu kepada masyarakat di seluruh penjuru dunia.
4.      Globalisasi adalah wadah westernisasi atau modernisasi atau bahkan amerikanisasi. Yaitu sebuah dinamika dimana struktur-struktur sosial dari modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dll) menyebar keseluruh penjuru dunia, dan biasanya proses penyebaran ini akan merusak keberadaan budaya-budaya dan etos lokal.
5.      Globalisasi adalah deteritorialisasi atau superterittorialisasi. Globalisasi menyebabkan rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-ruang sosial tidak lagi terpetakan secara utuh dalam wilayah, jarak dan batas teritorial.[2]
Definisi globalisasi menurut Held dkk yang dikutip oleh Poppy S. Wanti adalah     a process (or a set of processes) which embodies a transformation in the spatial organization of social relations and transactions-assessed in terms of their extensive, intensive, velocity, and impact-generating transcontinental or interregional flows and network of activity, interaction, and the exercise of power.[3] Yang selanjutnya disimpulkan bahwa globalisasi ditandai oleh :
1.      Globalisasi terikat erat dengan kemajuan dan inovasi teknologi, arus informasi serta komunikasi yang lintas batas negara;
2.      Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari akumulasi kapital, semakin tingginya intensitas arus investasi, keuangan, dan perdagangan global;
3.      Globalisasi berkaitan dengan semakin tingginya intensitas perpindahan manusia, pertukaran budaya, nilai, ide, yang lintas batas negara;
4.      Globalisasi ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat keterkaitan dan ketergantungan tidak hanya antar bangsa namun juga antar masyarakat.[4]
Konsekuensi penting dari globalisasi, antara lain :
1.      Globalisasi membuat aktor-aktor sosial dalam melakukan aktivitas eksternalnya menjadi berkurang;
2.      Globalisasi mendorong subsistem dan teritori nasional ke arah sistem yang lebih komprehensif dan melahirkan interelasi serta berdampingannya subsistem dan kewilayahan nasional-nasional;
3.      Dalam globalisasi aktivitas sosial, politik dan ekonomi di suatu belahan dunia mampu melintasi batas tertorial sehingga berpengaruh pada individu atau komunitas di belahan dunia yang lain.[5]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa globalisasi adlah proses multidimensional dalam aspek sosial, ekonomi, politik kultural yang bergerak secara ekstensif dan intensif ke dalam kehidupan masyarakat dunia.[6]
B.       Pancasila Sebagai Identitas Nasional Dalam Era Globalisasi
Globalisasi ibarat fenomena yang berwajah majemuk dalam keragaman kultural, hukum, sosial, ekonomi dan politik. Namun kita perlu berbangga diri bahwa dalam konteks globalisasi tersebut ternyata ada dan kita memiliki sesuatu kharakteristik dalam wajah majemuk tersebut yang berbeda dengan Idiologi Pancasila, dimana esensi dari sila-sila yang ada dalam Pancasila tersebut merupakan dasar dari nilai moral yang dijunjung tinggi negara-negara berdaulat di seluruh dunia. Inilah yang dimaksud globalisasipolitik.
Mempertimbangkan posisi Pancasila diatas, maka perlu dilakukan revitalisasi makna, peran dan posisi Pancasila bagi masa depan bangsa Indonesia sebagai negara modern. Karena didasari keyakinan bahwa Pancasila merupakan simbol nasional yang paling tepat bagi Indonesia sebagai negara modern.
Dalam sejarahnya, pertumbuhan nasionalisme sebagai wujud identitas nasional dalam globalisasi telah membawa bangsa Indonesia kedalam kancah percaturan politik dunia modern dewasa ini dengan beberapa tahap, antara lain :
Pertama, ditandai dengan tumbuhnya perasaan kebangsaan dan persamaan nasib yang diikuti dengan perlawanan terhadap penjajah baik sebelum maupun sesudah proklamasi. Tahap kedua, adalah bentuk nasionalisme yang merupakan kelanjutan dari semangat revolusioner pada masa perjuangan kemerdekaan, dimana pemimipin nasional pada saat itu memiliki satu ide, satu tekad dan satu tujuan yang tertuang dalam Dasar Negara (Pancasila) dan UUD 1945. Tahap Ketiga, adalah nasionalisme persatuan dan kesatuan yag dituangkan dalam bentuk “Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Tahap keempat adalah, nasionalisme kosmopolitan yaitu bergabungnya Indonesia dalam sistem global internasional yang dibangun berdasarkan “Nasionalisme Kultural Keindonesiaan” dengan memberi kesempatan kepada aktor-aktor di daerah secara langsung untuk menjadi kosmopolit dengan kharakteristik yang disemangati oleh multikulturalisme (Bhineka Tunggal Ika).[7]  
Konsep masyarakat multikulturalisme nampaknya relevan dalam menghambat arus globalisasi, karena konsep ini menegaskan kembali adanya identitas nasional bangsa Indonesia yang demokratis, inklusif, dan toleran dengan mengakar pada kemajemukan budaya, agama dan adat istiadat sebagai refleksi pada Dasar Negara Pancasila yang pada akhirnya akan menjadi modal sosial (social capital) bagi pengembangan masyarakat multikulturalisme modern masa depan.
Dalam rangka menjaga integritas sosial, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian identitas nasional dalam pola masyarakat multikulturalisme ini, maka perlu adannya pengembangan modal social capital, yaitu :
1.      Idiologi dan tradisi lokal yang masih berfungsi harus dipelihara;
2.      Menjaga dan melaksanakan jaringan sosial yang masih berfungsi dalam tradisi masyarakat tradisional;
3.      Institusi-institusi lokal yang masih berfungsi dan adaptif harus tetap terpelihara dan dipertahankan keberadaannya dalam masyarakat.[8]

C.      Aktualisasi Pengamalan Pancasila Dibidang Politik Dalam Era Globalisasi
Sebagai suatu paradigma, Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang mencoba memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia personal dan komunal dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan satuan dari sila-silanya harus menjadi sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan.
Aktualisasi pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi secara obyektif dan subyektif. Aktualisasi pancasila secara obyektif yaitu aktualisasi pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan Negara, bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum. Sedangkan aktualisasi pancasila secara subyektif yaitu aktualisasi pancasila pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[9]
Para founding father kita dengan cerdas dan jitu telah merumuskan formula alat perekat yang sangat ampuh bagi negara bangsa yang spektrum kebhinekaannya teramat lebar (multfi-facet natio state) seperti Indonesia. Alat perekat tersebut tiada lain daripada Pancasila yang berfungsi pula sebagai ideologi, dasar negara serta jatidiri bangsa. Pancasila tidak akan dapat memberi manfaat apapun manakala keberadannya hanya bersifat sebagai konsep atau software belaka. Untuk dapat berfungsi penuh sebagai perekat bangsa, Pancasila harus diimplementasikan dalam segala tingkat kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pancasila), dan dalam segala aspek meliputi politik, ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya.
Landasan aksiologis (sumber nilai) system politik Indonesia adalah dalam pembukaan UUD 1945 alenia IV “….. maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemasusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia”.Sehingga system politik Indonesia adalah Demokrasi pancasila.
Dimana demokrasi pancasila itu merupakan system pemerintahan dari rakyat dalam arti rakyat adalah awal mula kekuasaan Negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-cita. Organisasi sosial politik adalah wadah pemimpin-pemimpin bangsa dalam bidangnya masing-masing sesuai dengan keahliannya, peran dan tanggung jawabnya. Sehingga segala unsur-unsur dalam organisasi sosial politik seperti para pegawai Republik Indonesia harus mengikuti pedoman pengamalan Pancasial agar berkepribadian Pancasila karena mereka selain warga negara Indonesia, juga sebagai abdi masyarakat, dengan begitu maka segala kendala akan mudah dihadapi dan tujuan serta cita-cita hidup bangsa Indonesia akan terwujud.
Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat:
1.    kebebasan, terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan;
2.    kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat , kontrol publik;
3.    Pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya;
4.    supremasi hukum;
Begitu pula standar demokrasinya yang :
1.    bermekanisme ‘checks and balances’, transparan, akuntabel,
2.    berpihak kepada ‘social welfare’, serta
3.    meredam konflik dan utuhnya NKRI.
perbaikan moral tiap individu yang berimbas pada budaya anti-korupsi serta melaksanakan tindakan sesuai aturan yang berlaku adalah sedikit contoh aktualisasi Pancasila secara Subjektif. Aktualisasi secara objektif seperti perbaikan di tingkat penyelenggara pemerintahan. Lembaga-lembaga negara mesti paham betul bagaimana bekerja sesuai dengan tatanan Pancasila. Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus terus berubah seiring tantangan zaman (Kompas, 01 April 2003).
Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi pancasila dan mekanisme Undang Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidak seimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absoluth karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebih (The Real Executive ) yang melahirkan budaya Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Ini bisa dilihat betapa banyaknya pejabat yang mengidap penyakit “amoral” meminjam istilah Sri Mulyani-moral hazard. Hampir tiap komunitas (BUMN maupun BUMS), birokrasi, menjadi lumbung dan sarang “bandit” yang sehari-hari menghisap uang negara dengan praktik KKN atau kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Sejak Republik Indonesia berdiri, masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu muncul ke permukaan. Bermacam-macam usaha dan program telah dilakukan oleh setiap pemerintahan yang berkuasa dalam memberantas korupsi tetapi secara umum hukuman bagi mereka tidak sebanding dengan kesalahannya, sehingga gagal untuk membuat mereka kapok atau gentar. Mengapa tidak diterapkan, misalnya hukuman mati atau penjara 150 tahun bagi yang terbukti.
Para elit politik dan golongan atas seharusnya konsisten memegang dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap tindakan. Dalam era globalisasi saat ini , pemerintah tidak punya banyak pilihan. Karena globalisasi adalah sebuah kepastian sejarah, maka pemerintah perlu bersikap. ”Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah ”The Death of Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera diubah menjadi public services management.




BAB III
PENUTUP

Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang terjadi akibat transkulturasi dan teknologi modern. Istilah globalisasi dapat diterapkan dalam berbagai bidang diantaranya sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya, Memahami globalisasi merupakan suatu kebutuhan, mengingat majemuknya fenomena tersebut.
Tidak ada yang dapat mengelakan arus globalisasi yang menghampiri kita bahkan negeri ini , Globalisasi adalah tantangan bangsa ini yang bermula dari luar dan tentunya memberikan tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi bangsa ini. Ketika globalisasi tidak disikapi dengan cepat dan tepat maka hal ini akan mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa.
Indonesia sesungguhnya memiliki satu pamungkas yang menyatukan sekian potensi lokal dalam sebuah perahu untuk mengarungi arus globalisasi, yakni Pancasila. namun dengan begitu derasnya arus globalisasi yang menerpa bangsa ini, seakan memudarkan nilai-nilai pancasila yang seharusnya dapat diaktualisasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang.
Dalam bidang Politik Indonesaia menganut system demokrasi pancasila yang bertumpu pada kedaulatan rakyat sehingga rakyatlah yang harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-cita. Namun masalahnya adalah ketika sudah menjadi seorang penguasa atau pejabat pemerintahan semua cita-cita yang di amanatkan pancasila dan UUD 1945 seakan sirna dengan kemewahan dan kesenangan pribadi atupun kelompok.
Dengan berlandasan falsafat pancasila,yang berisi nilai - nilai luhur yang bersifat universal dan landasan Undang - Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar nasional,yang menentukan cita - cita perjuangan bangsa Indonesia ke dalam dan ke luar negeri yang dilandasi oleh prinsip - prinsip cinta damai ,meskipun lebih cinta ke pada kemerdekaan ,diabdikan kepada kepentingan nasional dengan tetap menghormati dan memperhatikan kepentingan negara - negara luar ,serta membuka pintu lebar - lebar bagi kerjasama internasional atas dasar saling hormat - menghormati dan saling menguntungkan.
Selain itu perlu pula digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan dan keteladanan. Beberapa langkah mengantisipasi arus globalisasi yang kian datang menerpa, diantaranya:
1.      kembali ke pancasila dan spirit dasar pembukaanUUD 1945
2.      membangun nasionalisme
3.      mengembangkan kembali konsep wawasan nusantara
4.      mengangkat ‘budaya' sebagai leading sector pembangunan nasional.
5.      menghargai kearifan lokal (local wisdom)
6.      kanalisasi arus globalisasi














DAFTAR PUSTAKA

Ubaedillah, A., Abdul Rozak., Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2006.
Mugasejati, Nunung Pamuji., Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, Yogyakarta, FISIPOL UGM, 2006.
Handayani, Tri., Diktat Pendidikan Pancasila, Semarang, UNWAHAS, 2005.
Kaelan, H. M.S., Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Paradigma, 2004.



[1] Ubaedillah, A dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Asian Foundation, 2006, hal. 107.
[2] Nanang Pamuji Mugasejati-Ucu Martanto, Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, Yogyakarta: FISIPOL UGM, 2006, hal. 2-3.
[3] David Held dan McGrew, Ed, The Global Transformations Reader an Introduction to the Globalization Debate, (Cambridge: Polity Press dan Blackwell Publisher, 2000), Nanang Pamuji Mugasejati-Ucu Martanto, hal. 120.
[4] Nanang Pamuji Mugisejati-Ucu Martanto, 2006, hal. 120.
[5] Nanang Pamuji Mugisejati-Ucu Martanto, Op Cit,2006,  hal. 4-5.
[6] Nanang Pamuji Mugisejati-Ucu Martanto, 2006, hal. 36.
[7] Tri Handayani, Diktat Pendidikan Pancasila, UNWAHAS; Fakkultas Agama Islam, 2005, hal. 76.
[8] Tri Handayani, hal. 76.
[9] DR. H. Kaelan, M.S., Pendidikan Pancasila, hal. 259.