Jumat, 20 Januari 2012

Pluralisme, Gus Dur Dan Pancasila


Indonesia merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara yang menyebabkan Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan pluralitas masyarakatnya memang sesuatu yang dapat menjadi sebuah alat pemersatu bangsa dan negara, namun disisi lain dapat sesekali menjadi bomerang, akibat adanya perbedaan nilai-nilai, idiologi, etnik dan kepentingan golongan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat indonesia. Pertama, faktor geografis yaitu Indonesia berada pada garis khatulistiwa atau daerah ekuator yang menyebabkan terdiri dari atas kurang lebih 13.000 pulau dimana 6.000 pulau belum berpenghuni yang tersebar di daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat dan 1.000 mil dari utara ke selatan, serta terdiri dari 35 suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa dan adat yang berbeda.
Kedua, Indonesia berada pada tengah-tengah jalur perdagangan laut antara samudera indonesia dan samudera fasifik, maka masyarakat Indonesia telah sejak lama memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan asing. Dengan adanya beberapa faktor tersebut, maka perlu adanya sebuah alat sebagai, filter, pembendung dan pemersatu bangsa, yaitu Pancasila.
Kata pluralis berasal dari bahasa Latin plures yang berarti “bebrapa” dengan implikasi perbedaan. Pluralisme adalah filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima adanya keragaman atau perbedaan yang meliputi bidang kultural, poitik, dan agama.
Masyarakat Indonesia dalam kedinamisannya memerlukan suatu sistem sosial yang merangkum semua bidang kehidupan sosial budaya bangsa yang dinamis ini. Berbagai sistem sosial yang berkembang sebagai bentuk dari perwujudan kebudayaan nasional sudah mengalami perkembangan atas dasar Pancasila, sebagai suatu sistem ideal yang dapat menyeragamkan.
KH. Abdurahman Wahid atau yang sering kita kenal dengan sapaan akra Gus Dur, merupakan tokoh yang sangat mendukung dan membela yang namanya pluralism. Hal ini dibuktikan dengan sumbangsih Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangan berliau yang sangat pantang mundur dalam mengusung pluralisme. Gebrakannya yang terkenal ketika ia menjadikan Konghucu sebagai agama resmi di negara Indonesia, dan mmencabut Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghua, serta menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Komitmen Gus Dur dalam memperjuangkan pluralisme di Indonesia melewati ujian yang tidak mudah. Di tahun 1995-1997 terjadi kerusuhan “etno-religius” di Jawa Timur dan Jawa Barat, yang merupakan daerah basis Nahdlatul Ulama (NU), yang menyebabkan ratusan gereja dan beberapa toko orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Merespon kekerasan tersebut, pada tahun 1997-1998, Gus Dur menciptakan jejaring aktivis muda NU untuk mencegah teror lebih lanjut dengan mengorganisir patroli keamanan di gereja-gereja dan toko-toko warga Tionghoa.
Gus Dur memahami pluralisme sebagai keharusan (normative pluralism). Karena menurut Gus Dur keberagaman merupakan rahmat yang telah digariskan Allah, menolak kemajemukan sama halnya dengan mengingkari pemberian Illahi, serta perbedaan merupakan kodrat manusia. Gus Dur menghargai pluralisme nonindiferen (menentnag pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya)  yang mengakui dan menghormati keberagaman agama dan menoloak pluralisme indiferen dan paham reativisme yang menganggap semua agama itu sama.
Gus Dur juga optimis bahwa keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa, bukannya persoalan yang akan memecah belah keutuhan bangsa. Selanjutnya menurut Gus Dur, untuk menghadirkan pluralisme sebagai pemaslahatan umat diperlukan tiga nilai universal yaitu :
1.    Kebebasan
Didalam masyarakat etno-religius Indonesia yang heterogen, Gus Dur mendambakan terciptanya “komunitas merdeka (community of freedom)”. Dalam komunitas merdeka, entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi hak hidupnya dari intervensi kekuatan eksternal, tapi juga kesempatan mengekspresikan identitasnya di ruang publik. Dalam bidang keagamaan, Gus Dur meyakini Pancasila menjamin kebebasan beragama bukan hanya sebatas memeluk agama tapi juga mencakup peran “etika kemasyarakatan” (social ethic) agama di ruang public.

2.    Keadilan
Keberpihakkan kepada yang lemah dan miskin (preferential option for the poor) adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tidak adil. Yang merupakan salah satu usaha Gus Dur yang tidak kenal lelah dalam membela hak-hak minoritas. Gus Dur juga menentang dikotomi mayoritas-minoritas yang akan mengancam keadilan dan mengarah pada disintegrasi bangsa. Itu sebabnya bagi Gus Dur, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, Islam sebagai etika kemasyarakatan tidak boleh menjadi sistem nilai dominan di Indonesia apalagi menjadi ideologi alternatif bagi Pancasila. Karena fungsi Islam sama dengan agama-agama lain, sebatas sistem nilai pelengkap bagi komunitas sosio-kultural dan politis Indonesia.

3.    Musyawarah 
Gus Dur, musyawarah menuntut kesadaran interdependensi dan sikap partisipasi. Itu berarti hidup bersama bukan lagi semata-mata secara sosial dan praktis, tapi harus secara “teologis.” Artinya, penerimaan satu sama lain harus dengan sepenuh hati. Perbedaan diterima sebagai sesuatu yang baik secara intrinsik. Toleransi bukan lagi sekedar menerima keberagaman, tapi bagaimana supaya keberagaman membawa manfaat.
Jika kita menghayati kembali makna Pancasila, didalamnya memiliki nilai yang sangat kompleks yang berlabuh pada persatuan dan kesatuan sehingga sangat dibutuhkan untuk memberikan solusi dari permasalahn yang timbul akibat keragaman masyarakat di Indonesia dewasa ini.
Bagaimana tidak, dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan keseragaman kemajemukan ideologi bangsa disatukan. Sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”, mengajarkan kepada kita seluruh rakyat indonesia bahwa harus saling menjalin kerukunan, keakraban dan saling menghargai antar sesama, walaupun berbeda. Sila ketiga “Persatuan Indonesia”, sangat jelas bahwa menghendaki adanya kesatuan di antara keberagaman yang ada. Sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, mengajarakan keadailan dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil segala keputusan. Terakhir, sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, memberikan keadilan bagi segenap rakyat yang multietnik.
Namun, sungguh sangat disayangkan pada realitasnya Pancasila sudah tidak dijadikan acuan lagi dalam mencari solusi terhadap problem kompleks yang terjadi di zaman sekarang. Sebagai contoh kasusnya yaitu bagaimana seorang muslim tega melukai bahkan mencelakai sesamanya dengan melakukan aksi terorisme, banyak wakil rakyat yang menyalahgunakan wewenang yang dipegangnya bahkan tega memanfaatkan uang rakyat guna keperluan atau kepentingan pribadi (korup), dan yang paling ironis yang telah mencoreng nilai luhur dari Pancasila adalah kehadiran gerakan Negara Islam Indonesia (NII), sebagai makar dari Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Semua yang terjadi tidak terlepas dari fenomena peralihan masyarakat yang senantiasa berubah, akibat adanya kontak dengan kebudayaan asing yang dipermudah dengan kemajuan teknologi. Tidak bisa dinafikan dimasa sekarang seseorang untuk menghindari pergaulan antar Negara dan lintas budaya. Peralatan teknologi dan informasi yang sedemikian canggihnya mempermudah terjadinya hal ini, dan peralihan didalam masyarakat kian cepat sedangkan nilai-nilai, gagasan utama yang bersifat nasional belum sepenuhnya dihayati oleh setiap warga Negara.
Cara efisien untuk mengatasi hal ini untuk tidak berlanjut, salah satunya dengan cara membina kebudayaan nasional dan meberikan nilai-nilai luhur Pancasila dan Kebhineka Tunggal Ikaan menjadi landasan utama dalam memberikan perlawanan terhadap semua permasalahan yang melanda bangsa kita tercinta sekarang ini.

Sumber:
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010.