Indonesia merupakan negara kepulauan di Asia
Tenggara yang menyebabkan Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan pluralitas
masyarakatnya memang sesuatu yang dapat menjadi sebuah alat pemersatu bangsa
dan negara, namun disisi lain dapat sesekali menjadi bomerang, akibat adanya
perbedaan nilai-nilai, idiologi, etnik dan kepentingan golongan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
kemajemukan masyarakat indonesia. Pertama, faktor geografis yaitu
Indonesia berada pada garis khatulistiwa atau daerah ekuator yang menyebabkan
terdiri dari atas kurang lebih 13.000 pulau dimana 6.000 pulau belum berpenghuni
yang tersebar di daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke
barat dan 1.000 mil dari utara ke selatan, serta terdiri dari 35 suku bangsa
yang masing-masing memiliki bahasa dan adat yang berbeda.
Kedua, Indonesia berada pada tengah-tengah jalur
perdagangan laut antara samudera indonesia dan samudera fasifik, maka
masyarakat Indonesia telah sejak lama memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan
asing. Dengan adanya beberapa faktor tersebut, maka perlu adanya sebuah alat
sebagai, filter, pembendung dan pemersatu bangsa, yaitu Pancasila.
Kata pluralis berasal dari bahasa Latin
plures yang berarti “bebrapa” dengan implikasi perbedaan. Pluralisme
adalah filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip
terakhir, tetapi menerima adanya keragaman atau perbedaan yang meliputi bidang
kultural, poitik, dan agama.
Masyarakat Indonesia dalam kedinamisannya
memerlukan suatu sistem sosial yang merangkum semua bidang kehidupan sosial
budaya bangsa yang dinamis ini. Berbagai sistem sosial yang berkembang sebagai
bentuk dari perwujudan kebudayaan nasional sudah mengalami perkembangan atas
dasar Pancasila, sebagai suatu sistem ideal yang dapat menyeragamkan.
KH. Abdurahman Wahid atau yang sering kita kenal dengan sapaan akra
Gus Dur, merupakan tokoh yang sangat mendukung dan membela yang namanya
pluralism. Hal ini dibuktikan dengan sumbangsih Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangan
berliau yang sangat pantang mundur dalam mengusung pluralisme. Gebrakannya yang
terkenal ketika ia menjadikan Konghucu sebagai agama resmi di negara Indonesia,
dan mmencabut Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan
warga Tionghua, serta menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Komitmen Gus Dur dalam memperjuangkan
pluralisme di Indonesia melewati ujian yang tidak mudah. Di tahun 1995-1997
terjadi kerusuhan “etno-religius” di Jawa Timur dan Jawa Barat, yang
merupakan daerah basis Nahdlatul Ulama (NU), yang menyebabkan ratusan gereja
dan beberapa toko orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Merespon kekerasan
tersebut, pada tahun 1997-1998, Gus Dur menciptakan jejaring aktivis muda NU
untuk mencegah teror lebih lanjut dengan mengorganisir patroli keamanan di
gereja-gereja dan toko-toko warga Tionghoa.
Gus Dur memahami pluralisme sebagai keharusan
(normative pluralism). Karena menurut Gus Dur keberagaman merupakan
rahmat yang telah digariskan Allah, menolak kemajemukan sama halnya dengan
mengingkari pemberian Illahi, serta perbedaan merupakan kodrat manusia. Gus Dur
menghargai pluralisme nonindiferen (menentnag pereduksian nilai-nilai luhur
agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya) yang mengakui dan menghormati keberagaman
agama dan menoloak pluralisme indiferen dan paham reativisme yang menganggap
semua agama itu sama.
Gus Dur juga optimis bahwa keberagaman akan
membawa kemaslahatan bangsa, bukannya persoalan yang akan memecah belah
keutuhan bangsa. Selanjutnya menurut Gus Dur, untuk menghadirkan pluralisme
sebagai pemaslahatan umat diperlukan tiga nilai universal yaitu :
1. Kebebasan
Didalam masyarakat etno-religius Indonesia yang heterogen, Gus Dur
mendambakan terciptanya “komunitas merdeka (community of freedom)”. Dalam komunitas merdeka, entitas
kemajemukan bukan hanya dilindungi hak hidupnya dari intervensi kekuatan
eksternal, tapi juga kesempatan mengekspresikan identitasnya di ruang publik.
Dalam bidang keagamaan, Gus Dur meyakini Pancasila menjamin kebebasan beragama
bukan hanya sebatas memeluk agama tapi juga mencakup peran “etika
kemasyarakatan” (social ethic) agama di ruang public.
2. Keadilan
Keberpihakkan
kepada yang lemah dan miskin (preferential option for the poor) adalah
kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tidak adil. Yang merupakan
salah satu usaha Gus Dur yang tidak kenal lelah dalam membela hak-hak
minoritas. Gus Dur juga menentang dikotomi mayoritas-minoritas yang akan
mengancam keadilan dan mengarah pada disintegrasi bangsa. Itu sebabnya bagi Gus
Dur, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, Islam sebagai etika kemasyarakatan tidak
boleh menjadi sistem nilai dominan di Indonesia apalagi menjadi ideologi
alternatif bagi Pancasila. Karena fungsi Islam sama dengan agama-agama lain, sebatas sistem
nilai pelengkap bagi komunitas sosio-kultural dan politis Indonesia.
3. Musyawarah
Gus Dur,
musyawarah menuntut kesadaran interdependensi dan sikap partisipasi. Itu
berarti hidup bersama bukan lagi semata-mata secara sosial dan praktis, tapi
harus secara “teologis.” Artinya, penerimaan satu sama lain harus dengan
sepenuh hati. Perbedaan diterima sebagai sesuatu yang baik secara intrinsik.
Toleransi bukan lagi sekedar menerima keberagaman, tapi bagaimana supaya
keberagaman membawa manfaat.
Jika kita menghayati kembali makna Pancasila,
didalamnya memiliki nilai yang sangat kompleks yang berlabuh pada persatuan dan
kesatuan sehingga sangat dibutuhkan untuk memberikan solusi dari permasalahn
yang timbul akibat keragaman masyarakat di Indonesia dewasa ini.
Bagaimana tidak, dalam sila pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa” mencerminkan keseragaman kemajemukan ideologi bangsa disatukan.
Sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”, mengajarkan kepada kita seluruh
rakyat indonesia bahwa harus saling menjalin kerukunan, keakraban dan saling
menghargai antar sesama, walaupun berbeda. Sila ketiga “Persatuan Indonesia”,
sangat jelas bahwa menghendaki adanya kesatuan di antara keberagaman yang ada.
Sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”, mengajarakan keadailan dan mengutamakan musyawarah
dalam mengambil segala keputusan. Terakhir, sila kelima “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”, memberikan keadilan bagi segenap rakyat yang
multietnik.
Namun, sungguh sangat disayangkan pada realitasnya Pancasila sudah
tidak dijadikan acuan lagi dalam mencari solusi terhadap problem kompleks yang
terjadi di zaman sekarang. Sebagai contoh kasusnya yaitu bagaimana seorang
muslim tega melukai bahkan mencelakai sesamanya dengan melakukan aksi
terorisme, banyak wakil rakyat yang menyalahgunakan wewenang yang dipegangnya
bahkan tega memanfaatkan uang rakyat guna keperluan atau kepentingan pribadi
(korup), dan yang paling ironis yang telah mencoreng nilai luhur dari Pancasila
adalah kehadiran gerakan Negara Islam Indonesia (NII), sebagai makar dari
Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Semua yang terjadi tidak terlepas dari fenomena peralihan
masyarakat yang senantiasa berubah, akibat adanya kontak dengan kebudayaan
asing yang dipermudah dengan kemajuan teknologi. Tidak bisa dinafikan dimasa
sekarang seseorang untuk menghindari pergaulan antar Negara dan lintas budaya.
Peralatan teknologi dan informasi yang sedemikian canggihnya mempermudah
terjadinya hal ini, dan peralihan didalam masyarakat kian cepat sedangkan
nilai-nilai, gagasan utama yang bersifat nasional belum sepenuhnya dihayati
oleh setiap warga Negara.
Cara efisien untuk mengatasi hal ini untuk tidak berlanjut, salah
satunya dengan cara membina kebudayaan nasional dan meberikan nilai-nilai luhur
Pancasila dan Kebhineka Tunggal Ikaan menjadi landasan utama dalam memberikan
perlawanan terhadap semua permasalahan yang melanda bangsa kita tercinta
sekarang ini.
Sumber:
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 2010.